Jumat, 24 Juli 2015

Biografi


W.S Rendra


Nama :
Willibrordus Surendra Broto
(Wahyu Sulaiman Rendra)

Lahir:
Solo, Jawa Tengah,
7 November 1935

Wafat :
Depok, Jawa Barat,
6 Agustus 2009

Julukan :
Si Burung Merak

Pendidikan :
SMA St. Josef Solo,
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
American Academy ofDramatical Art new YorkUSA(1964-1967).

Karya-karya Drama :
Orang-orang di Tikungan Jalan, SEKDA,
 Mastodon dan Burung Kondor,
Oidipus Rex,
Kasidah Barzanji,
Perang Troya Tidak Akan Meletus,
Sobrat

Sajak dan Puisi :
Jangan Takut Ibu,
Balada Orang-orang Tercinta (1957,1971,1986),
Ballads and Blues : Poems (1974),
Blues untuk Bonnie (1981),
Buku Harian Seorang Penipu (1988),
 Disebabkan oleh Angin (1993), Empat Kumpulan Sajak (1981), Pamfletten van een Dichter (1979),
Perampok (1987),
 Potret Pembangunan dalam Puisi (1980),
 Sajak-sajak Sepatu Tua (1983), Sajak-sajak Hari
Kebangkitan Nasional (1990), Wettliche Gesange und Pamphlete (1991)

Penghargaan :
Departemen P & K Yogyakarta (1954),
Hadiah Tahunan Majalah Kisah atas cerpennya yang berjudul Ia Punya Leher Panjang (1956),
Penghargaan sebagai salah satu penyair terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(1955 -1956),
Hadiah untuk karyanya Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta dan Pesan Pencopet Kepada Pacarnya, Departemen P & K Yogyakarta,
Penghargaan Dari PemerintahYugoslavia,
Mendapatkan Beasiswa dari Rockefeller Foundation dan JDR the III Foiundation
(1964-1967),
Anugrah Seni dari Departemen
 P & K (1969),
Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975),
Adam Malik Award (1989),
Hendar Fahmi Ananda Award,Lombok (1993),
Sea Write Award KerajaanThailand (1995),
Juara I Hadiah Sastra AsiaTenggara (1996),
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996),
Jos Kaj Tyl Kedutaan Besar Ceko (1997),
Achmad Bakrie Award bidang Kesusatraan (2006),
Federasi Teater Indonesia Award (2006),
Penghargaan Seni, Budaya dan Pariwisata Jawa Barat (2007),  
Doktor Honoris Causa dari UGM (2008)


            Lahir, 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah. Tahun 1954, pada usianya yang sangat muda, mendapat hadiah dari Departemen Kebudayaan untuk naskah dramanya Orang-orang di Tikungan Jalan. Tahun 1957, ia mendapat  hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk kumpulan puisinyaBalada Orang-Orang Tercinta. Ayahnya, seorang guru bahasa Indonesia da bahasa Jawa kuno. Ibunya pernah menari di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogya. Mendapat kesempatan untuk keliling Amerika Serikat pada tahun 1964 dan melanjutkan belajar di The American Academy of Dramatic Arts, New York, USA, tahun 1964-1967 dengan beasiswa dari Rockefeller Foundation dan kemudian dari JDR The III Fund.
             Pada tahun 1967, kembali ke tanah air dan mendirikan Bengkel Teater Rendra. Tahun 1970, mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI melalui Departemen P & K atas karyanya menciptakan drama mini kata. Tahun 1975, mendapat hadiah dari Akademi Jakarta untuk karya-karyanya dari tahun 1970-1975. Ia juga sering mengikuti festival-festival Internasional antara lain”di Rotterdam, Amsterdam, Koln, Hamburg, Melbourne, Sydney, New York, Leaden, New Delhi, Bhopal, Korea Selatan, Denmark, dll.
             Bengkel Teater Rendra, bulan Juni 2005 lalu mementaskan drama berlabel Sobrat karya Arthur S. Nalan di TIM. Pentas tersebut merupakan kegiatan yang kesekian puluh kali. Rendra, yang sejak awal memimpin dan menyutradarai kelompok teaternya ‘Bengkel Teater Yogya yang berubah menjadi ‘Bengkel TeaterPada usianya yang sangat muda, ia menulis karya-karya sastra yang mengejutkan.
    Sangat berbeda dengan puisi-puisi Indonesia yang waktu itu kebanyakan berbentuk puisi lirik. Tetapi Rendra menerobos dengan puisi-puisi ‘epik. Karya-karyanya banyak dimuat di berbagai majalah sastra terkenal yang tersebar diberbagai kota besar di Indonesia. Sehingga ia banyak diperhitungkan oleh para penyair senior pada jamannya.                                                                 Balada Orang-orang Tercinta adalah buku kumpulan puisinya yang pertama yang ia buat ditahun 1957.  mendapatkan hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional Indonesia (BMKN). Dan ia satu-satunya penyair muda terbaik periode tahun 1955-1957.
Bengkel Teater ‘Sobrat’ (2005)
             Selain puisi, ia juga menulis cerita pendek dan drama pentas. Tetapi buku puisinya yang meledak berlabel Blues Untuk Bonnie tahun 1971. Karya dramanya mini kata berlabel SSTTT, sempat menggemparkan publik ketika naskah improvisasi yang tersusun menjadi naskah drama absurd-eksperimen tersebut ditayangkan di stasiun siaran TVRI Pusat pada tahun 1970-an. Hal itu menjadikan pemirsa dan publik teater realis-konvensional, membelalakan mata dan dibuat terkagum-kagum. Bahwasannya seorang Rendra membuka cakrawala pentas dan peta teater Indonesia menjadi kian lebar. Faktanya dapat dibuktikan sesudah, karena konsep teater baru Rendra diterima oleh banyak pihak. Dan tidak sedikit grup-grup teater lainnya terpengaruh ulah Rendra yang juga disebut seniman urakan.
             Agaknya pengalamannya merambah dunia seni budaya sampai ke pelataran negeri Paman Sam (Amerika Serikat), membawa angin segar bagi blantika seni budaya di negeri ini. Pentas pertamanya di TIM tahun 1970-an, menampilkan karya-karya teater Yunani kuno, seperti Oedipus Rex yang banyak mendapat sambutan publik. Menyusul drama absurd karya Samuel Becket berjudul Menunggu Godot (Waiting for Godot).
            Tak hanya naskah drama asing yang berhasil diadaptasi seperti drama Hamlet karya William Shakespeare, yang disajikan dengan warna lokal yang mengagumkan elemen kesenian tradisional Jawa ‘Ketoprak Di samping karya-karya drama mini kata ciptaannya seperti Modom-Modom, Lentera dll yang memukau publik. Ia pun mengantarkan publik sastra dan teater menjadi kian tertarik dan kecanduan menonton karya Rendra, di awal Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki baru berdiri tahun 1968.
            Di jaman pemerintahan Orde Baru berkuasa. Rendra, dramawan dan penyair dicekal dan harus mendekam di balik jeruji besi. Ia ditangkap oleh pihak yang berwajib seusai mengisi acara baca puisi Pamlet di Teater Terbuka TIM tahun 1972-an. Pada 6 Agustus 2009, si burung merak itu mengakhiri lembaran karier emasnya. Ia menghembuskan nafas terakhir di RS Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat, pkl 22.05 wib, akibat komplikasi penyakit ginjal dan jantung koroner. Jenazah dikebumikan di Bengkel Teaternya, di Cipayung, Depok, Jawa Barat.
(Dari Berbagai Sumber)

Behind The Scene




Pakaian Dan Kepalsuan

Karya Averchenko

Saduran Bebas Achdiat K Mihardja

oleh Teater Karoeng 





Kamis, 22 November 2012

Info Pementasan

 

Teater Sastra Universitas Indonesia
Mempersembahkan

Musuh Masyarakat
Karya/sutradara : I. Yudhi Soenarto
Adaptasi dari karya Henrik Ibsen ‘An
Enemy of The People’

Graha Bhakti Budaya, Jumat-Minggu, 23 – 25 November 2012
HTM : Rp. 100.000,- | Rp. 75.000,- | Rp. 50.000,- | Rp. 30.000,-

Pada tahun 1830, seorang dokter di Bohemia (sekarang wilayah Czech Republic) membuat surat peringatan tentang menjangkitnya wabah kolera di daerah wisata tempat ia tinggal. Bukan pujian yang ia dapat, tapi kemarahan masyarakat, karena surat itu membuat para turis takut berkunjung. Ia pun menjadi musuh masyarakat dan terusir dari tempat tinggalnya. Di Oslo (dulu Christiania, Norwegia) pada tahun 1880, kisah serupa terjadi juga ketika seorang ahli kimia mempersoalkan kebersihan sebuah dapur umum. Kisah-kisah inilah, kemungkinan besar, yang mengilhami Henrik Ibsen untuk menulis drama berjudul Musuh Masyarakat pada tahun 1882. Ibsen sendiri sempat merasakan menjadi ‘musuh masyarakat’ setelah di tahun 1881 ia menulis dan mementaskan drama Hantu-hantu yang berkisah tentang penyakit menular seksual (syphilis) yang menjangkiti keluarga kelas menengah atas. 

 

Dengan meminjam karya Henrik Ibsen, dalam produksi kali ini, Teater Sastra UI akan mementaskan kisah individu melawan masyarakat yang berjudul Musuh Masyarakat.Oleh I. Yudhi Soenarto drama tragedi modern ini diadaptasi ke dalam konteks masyarakat Indonesia masa kini, yang tentu saja telah berkembang jauh lebih kompleks dari masyarakat di jaman Ibsen hidup. Meskipun demikian, esensi yang ingin kami sampaikan tetap sama, bahwa kebenaran faktual hampir selalu kalah dari kemunafikan, kebodohan, keserakahandan kebiasaan korup yang telah terlanjur dianggap sebagai kewajaran dan ‘kebenaran’ kolektif.

Acara ini terselenggara atas kerjasama antara PKJ-Taman Ismail Marzuki dan Teater Sastra Universitas


Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan Indonesia yang paling diperhitungkan di dunia internasional. Pribadinya keras, kalau bicara selalu lugas, ceplas-ceplos, tapi menggigit”dan selalu memiliki substansi. Pram, panggilan akrabnya, memiliki pengaruh yang kuat di kalangan aktivis prodemokrasi, melalui novel-novel yang di tulisnya. Novelnya yang terkenal adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik dan Arok Dedes, novel-novelnya menjadi bacaan wajib para aktivis. Dan sebagian novelnya ditulis ketika ia dipenjarakan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru.


Pram Kelahiran Jetis, Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, mulai menulis sejak ia duduk di Sekolah Rakyat. Bakat ini ia warisi dari ayahnya, Toer, bekas guru dan aktivis PNI cabang Blora. Karya pertamanya, Kemana, muncul di majalah Pancaraya tahun 1947. Saat itu ia masih tercatat sebagai murid di Taman Siswa. Di tahun yang sama, terbit novelnya, Kranji Bekasi Jatuh dan Sepuluh Kepala Nica.


Pram begitu sering mengalami perampasan hak dan kebebasan. Tercatat pada zaman revolusi kemerdekaan, ia dipenjara oleh Belanda di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), kemudian di jebloskan lagi ke penjara pada zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia dan dibuang ke Pulau Buru oleh penguasa Orde Baru, setelah meletusnya G-30/S. Ia baru menghirup udara bebas pada bulan Desember tahun 1979, meskipun harus kehilangan sebagian pendengarannya karena kepalanya dihantam popor senjata.


Sosok Pram menampakkan karakter yang keras. “Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek”, tuturnya.


Ia tergolong penulis yang serius mempersiapkan diri sebelum berkarya. Ia adalah sosok pendokumentasi data yang baik, dan mampu membungkus data-data yang akurat dengan alur cerita yang memukau dan gaya bahasa yang orisinil. Itulah sebabnya banyak pihak menilai karya-karya memiliki standar mutu literer yang tinggi. Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri telah membuktikannya. Pram menerima Freedom-to-write Award dari PEN American Center (1989), The Fund for free Expression Award (1990), Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award dari Filipina (31 Agustus 1995). Banyak novelnya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Mute’s Soliloquy (Hyperion East, New York). Ini membuktikan supremesi Pram dalam dunia sastra. Hingga kini karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.


Sebagian besar karyanya menyuarakan perlunya memberontak dari tatanan yang tidak adil. Penjajahan dan perampasan hak adalah sesuatu yang harus dilawan. Karena ketidakadilan merupakan produk dari struktur, maka struktur itu juga harus dilawan.


Sepanjang dekade 60-an, perjalanan hidup Pram diwarnai dinamika yang sangat dramatis. Ia terjebak dalam perseteruan antara kubu Lekra (komunis) dan penandatanganan Manifes Kebudayaan. Ia terjepit dalam konflik politik antara kaum komunis, agama, dan angkatan darat. Tak tahu apa-apa soal G 30 S, ia menjadi korban. Rumahnya digerebek, dokumen-dokumen berharga miliknya dihancurkan oleh tentara. Bagi seorang penulis, dokumen-dokumen tersebut ibarat nyawa.


Meski perjalanan hidupnya sebagian begitu getir, Pram tetap konsisten untuk terus menulis. Totalitasnya dalam dunia kepenulisan tetap terjaga. Sayangnya, Pram belum atau tidak akan menyiapkan pengganti yang akan meneruskan jejak langkahnya, “Jadi pengarang itu mengerikan. Anak-anak saya menyimak nasib ayahnya”, katanya. Akibat penyakit radang paru-paru yang diidapnya semakin kronis dan disertai komplikasi dengan penyakit jantung dan diabetes, Pram akhirnya menutup lembaran kisah hidupnya pada hari Minggu tanggal 30 April 2006, jenazahnya di makamkan di pemakaman Umum Karet Bivak Jakarta Pusat. Selamat Jalan Pak Pram.***


(Dari Berbagai Sumber)

Biografi Arifin C. Noer



Arifin C. Noer




Dilahirkan di Cirebon tanggal 10 Maret 1941, Arifin C. Noer memulai kiprahnya dalam dunia seni sejak kecil. Minatnya pada kesenian telah tumbuh sejak masih duduk di bangku SMP. Ia mengarang cerpen dan puisi, lalu mengirimkannya ke majalah mingguan yang terbit di Cirebon dan Bandung. Honor yang diperoleh dari menulis ia pergunakan untuk membeli buku-buku sastra, terutama kisah petualangan yang sangat di sukainya. Komedi Manusia karya William Saroyan merupakan salah satu buku yang sangat berkesan baginya saat itu.


Sejak tahun 1957 secara berkala ia mengirimkan karya-karyanya berupa puisi dan naskah sandiwara untuk kebutuhan RRI Cirebon. Aktivitas kesenian dia lakukan selepas sekolah dan setelah membantu Pak Adnan ayahnya mengipasi sate di warung makan milik keluarganya. Dua kali seminggu dia berlatih sandiwara dan menyanyi di bawah bimbingan Mus Mualim, salah satu musisi andal negeri ini. Kegiatan yang sempat membuat namanya tercatat sebagai juara lomba menyanyi seriosa tingkat daerah. Setamat SLA ia melanjutkan studinya di Universitas Cokroaminato Solo, dimana ia bergabung dengan Teater Muslim pimpinan Mohammad Diponegoro. Pada periode ini lahir karya-karya seperti Sumur Tanpa Dasar, Ia Telah Datang Ia Telah Pergi dan Mega-Mega.


Tahun 1968, ia hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Ketjil. Pada periode ini lahir sejumlah karya seperti Kapai-kapai, Kisah Cinta Dll, AA II UU, serta pentalogi Orkes Madun : Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang, Sandek Pemuda Pekerja, Dalam Bayangan Tuhan dan Ozone. Naskah-naskahnya serta-merta menarik minat teaterawan dari generasi yang lebih muda, sehingga di mana-mana orang mementaskan karya Arifin C Noer. Banyak karya Arifin yang kemudian diterjemahkan ke bahasa lain seperti Inggris, Swedia, Prancis, Belanda, Flams dan Cina dan di pentaskan di berbagai Negara seperti Malaysia, Amerika, Australia, negara-negara Benelux, Singapura dan Swedia oleh kelompok teater setempat.


Sebagai pekerja seni, Arifin C Noer memberi sumbangan yang besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia. Karya-karya tulisnya berupa naskah lakon yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh Teater Ketjil yang dipimpinnya, membuktikan kedudukannya sebagai salah satu pencetus bentuk teater modern. Kiprahnya sebagai sutradara kemudian membawanya pula ke dunia layar perak. Pada kurun 70-an skenarionya seperti Pemberang, Rio Anakku dan Sanrego menangguk penghargaan. Sutradara terbaik versi FFI diperolehnya melalui film Serangan Fajar dan Taksi yang mengukuhkan namanya sebagai salah satu seniman terpenting di Indonesia. Karya-karyanya juga mengambil peran di berbagai festival Internasiona dan Indonesia. Teater Timur yang dipahami orang barat, seluruh bahasanya sendiri


Pada tahun 1967 salah satu karyanya, Mega-Mega mendapatkan hadiah sebagai lakon sandiwara terbaik dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI). Ia juga sempat menerima Anugrah Seni dari pemerintah RI (1971) dan Sea Write Award dari Kerajaan Thailand (1990) untuk bidang sastra. Ditambah sejumlah penghargaan lain dari bidang film, lengkaplah Arifin sebagai tokoh dari sejumlah bidang seni. Belum lagi sumbangannya berupa pemikiran yang dituangkan dalam tulisan-tulisan, baik yang dimuat dalam media massa maupun diperbanyak sebagai materi workshop, seminar dan lokakarya.


Pada tanggal 28 Mei 1995 Arifin C Noer meninggal dunia karena sakit lever dan kanker. Beberapa karyanya tak sempat terselesaikan, namun kegelisahannya terus hidup sebagai inspirasi bagi para penerusnya di jagad kesenian Indonesia.




Rabu, 21 November 2012

Menjaga Budaya menuju Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI 2013 (Medan)


Oleh Rian Harahap, S.Pd


            “Aku akan tetap mencintaimu meskipun aku terperangkap mati dalam kehidupan”, sebut perempuan yang termangu dan dipasung itu. Seketika lampu panggung padam dan seluruh ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan. Begitulah kiranya kalimat akhir dari pertunjukan yang ditaja teater Lakon Kesenian Kampus (LKK) Universitas Negeri Medan dalam Temu Teater Mahasiswa Nasional X, Purwokerto pada 9-15 Juli 2012. Setelah naik panggung pada pertengahan juni lalu mereka dengan yakin berangkat dan menunjukkan karyanya yang diangkat dari hasil observasi kehidupan di Sumatera Utara untuk diapresiasi oleh teater kampus se-Nusantara. Naskah yang berjudul ‘Belenggu’ tersebut mampu menaikkan kembali pamor teater kampus di kota Medan. Masalah pemasungan dan keterbelakangan penanganan sosial di keluarga di pedalaman daerahnya membuat ini perlu diangkat ke permukaan.
              Medan kembali menjadi garang dalam teater kampus nasional. Tak pelak ini adalah hasil dari proses kreatif yang selalu dijaga di komunitas masing-masing. Tak hanya teater LKK saja yang hadir dalam helatan ini. Tentu saja dengan kekuatan dan kekompakan mereka, teater O (USU), Alif (IAIN-SU), SH 82 (FH-UMSU), Post Arca 52’ (ITM) dan Sisi (UMSU) juga membuat mata nasional tak berpaling dari kerasnya logat dan tradisi yang dijaga mereka. Bisa dilihat dari teater O yang selalu dengan satire khas Medan. Meski naskah kali ini tidak ditulis oleh Yulhasni namun tetap saja kritikan-kritikan itu tertata rapi dalam lakon komedi berjudul ‘Tukang Tipu’. Berbeda dengan kedua teater di atas. Dua komunitas terakhir tak mementaskan sebuah pertunjukan drama namun lebih kepada tradisi budaya. Sanggar Hukum 82’ misalnya dengan tegas mengatakan bahwa tari Tor-Tor adalah milik Indonesia (Sumut) dengan sajian serta Gondang Bolon dari teater Sisi. Keberadaan teater kampus Medan mulai ditilik sebagai pencapaian yang lumayan.
              Teater kampus hidup dalam perkembangan yang luar biasa drastis meningkat. Ini terlihat dari zaman tahun 90-an ketika itu masih akrab sekali kita mendengar teater independen yang berkecimpung di Taman Budaya. Terbentuknya teater kampus juga tidak lepas dari andil seniman dan sastrawan taman budaya tersebut meski teater kampus juga lahir dari aksi jalanan di era reformasi yang menuntut sebuah teaterikal. Teaterikal dianggap mampu membius kala itu sebagai sebuah sindiran terhadap pemerintahan hingga akhirnya ada sebuah sikap yang harus dipertahankan dalam teaterikal. Maka banyaklah terbentuk teater kampus sebagai bentuk sebuah wadah seni dan budaya.
               Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis.
                Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.
                 Kehadiran di Purwokerto bukan sekedar mengisi absen dan pengakuan bahwa kota Medan masih memiliki teater kampus. Teater yang berasal dari kampus dan notabenenya menjadi kontrol atas permasalahan sosial yang tak terjamah teater independen. Ada hal yang lebih penting dari itu melihat Sumatera Utara mulai doguncang dengan isu kebudayaan yang dengan sengaja ingin dicaplok oleh negara tetangga. Kajian seni dan budaya inilah yang membuat kedatangan ke Purwokerto ini berbeda. Temu Teater Mahasiswa Nasional (Temu Teman) sudah memasuki periode yang matang. Pertemuan teater kampus di seluruh Indonesia ini menjadi ajang tahunan yang wajib digelar.
                  Hal-hal yang ditawarkan Temu Teman pada saat itu adalah event pertunjukan teater yang mengedepankan apresiasi, dan sharing antara segenap komunitas teater kampus yang menjadi peserta, sehingga ada semacam dialektika intelektual yang terjadi di dalamnya. Mengapa dialektika itu sangat diperlukan, karena banyak perbedaan persepsi ataupun konsep yang ada di tiap-tiap komunitas. Tidak perlu mencapai persamaan dalam hal tersebut tetapi lebih pada bentuk kesepahaman perbedaan yang tentunya akan memberi dampak positif berupa ilmu pengetahuan untuk perkembangan teater kampus di Indonesia, terciptanya transformasi pengetahuan dan informasi antar pulau sehingga perkembangan teater kampus di Indonesia akan bersifat menyeluruh. Tentu ini hal yang sangat diidam-idamkan dalam kesenian di lingkungan mahasiswa.
                Menilik lagi sejarahnya maka Temu Teman telah sampai pada usia yang kesepuluh tahun. Even ini diikrarkan pada 22 April 2002 di Makasar lalu berturut-turut pada tahun berikutnya Universitas Tadulako Palu (2003), Universitas Negeri Gorontalo (2004), Universitas Lambung Mangkurat (2005), Banjarmasin, Universitas Islam Negeri Malang (2006), Universitas Dr Soetomo Surabaya (2007), Bali (2008), Institut Pertanian Bogor(2009), Univesitas Islam Negeri Riau (2010) dan STAIN Purwokerto (2011). Keberadaan inilah yang membuat teater kampus semakin lama harus semakin kritis dalam menyikapi masalah-maslaah yang ada disekitarnya. Teater sebagai ruang publik yang bisa dijadikan pesan agar ada perubahan bagi lingkungan. Bagian dari suara-suara rakyat yang terkungkung dalam kebisuan.
                 Berbagai macam latar belakang hadir dalam setiap Temu Teman dan jumlah hampir seribuan orang. Sehingga akan lebih bermanfaat jika pertemuan ini disikapi dengan pertunjukan yang memaparkan tradisi dan kearifan lokal dari daerah masing-masing meski tidak mengesampingkan masalah-masalah yang lebih urgen. Teater berbicara tentang wirasa, wiraga dan wirama. Ada hal yang sangat substansial dalam proses penggarapan setiap naskah dan dibedah agar sampai kepada penonton. Penyampaian itu bukan hanya sebatas tepuk tangan dan teriakan seusai pementasan, namun pesan itu harus terjaga di benak penonton tersebut dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.
                 Begitulah harapan dari pertunjukan teater yang cerdas, teater kampus. Melihat antusiasme teater kampus tersebut, ada celetukan yang keluar dari teater kampus di Nusantara. Mereka mempunyai opini jika sudah saatnya Medan menaja sebuah perhelatan nasional di kotanya. Namun ide bagus itu harus diurungkan sebab masih banyak pekerjaan rumah teater kampus yang harus dibenahi. Meskipun juga fasilitas gedung pertunjukan juga masih jauh dari syarat kata standar.
                  Pada hakikatnya teater kampus Medan sudah rindu akan sebuah iklim dimana teater kampus bukan untuk ditilik dari segi organisasi yang memang dihuni oleh akademisi. Namun pengorganisasiannya lebih baik berhaluan kepada prinsip kekeluargaan dan bukan untuk dipolitisir. Teater kampus Medan harus lebih banyak membahas dramaturgi meski tak sepenuhnya, menilik manajemen produksi meski tak sesempurna event organizer. Masa depan kebudayaan dan seni Sumatera Utara kini masih ditanggung oleh akademisi-akademisi muda yang masih berkutat dengan buku. Semoga mereka tidak hanya berkutat dengan politisir yang dibuat di ranah kesenian dan budaya.
                  Maka tak pelak pula kedatangan teater kampus kota Medan yang tergabung dalam Komunitas Teater Kampus Medan (KOTAK) yang datang ke Purwokerto pada membawa misi bahwa sudah saatnya Nusantara mengenal Sumatera Utara lebih dekat. Pencalonan tuan rumah pun disepakati menjadi kenyataan untuk tahun depan. Tepatnya kota Medan berhak menjadi tuan rumah Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI (2013). Sekitar ribuan aktor, sutradara dan penata pertunjukan akan melihat isi dan mengupas kulit yang biasa ditekan dan dicaplok oleh pengakuan negara lain. Kebudayaan Sumatera Utara bangkitlah, siapkan mata teater kampus. Semoga!

Rian Harahap penulis adalah guru, aktor dan sutradara teater kampus. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU. Tulisannya dimuat di Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Pekanbaru Pos, Analisa, Waspada dan Medan Bisnis.

Selasa, 20 November 2012

Keindahan Seni Pertunjukan


Keindahan seni pertunjukan

Oleh : A. Dayari (Anggota Teater Karoeng)

 

Hentakan musik dangdut diiringi goyangan panas para penyanyinya menghentak dinginnya malam. Semua itu terllihat jelas dalam sebuah acara pernikahan di daerah pinggiran kota Bogor. Seperti biasa, dalam acara pernikahan sering terlihat adanya panggung hiburan dangdut yang bisa sedikit mengurangi penat pikiran para penontonnya yang setiap hari disibukkan dengan masalah-masalah kehidupan. Terlihat indah memang bila kita bisa menonton hiburan tersebut dalam kacamata para penontonnya yang kebanyakan berprofesi sebagai supir angkot, tukang ojek atau buruh kasar. Hiburan dangdut merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan, tapi apakah ini bisa disebut dengan keindahan seni pertunjukan?

Pada dasarnya seni pertunjukan adalah kesenian yang dipertontonkan pada khalayak ramai sebagai objeknya, namun kesenian panggung dangdut yang mengumbar aurat biduannya rasanya tidak tepat disebut sebagai salah satu bentuk keindahan seni pertunjukan. Bila kita melihat keindahan ini dari segi estetika atau juga  pemaknaan pertunjukan tersebut, seni pertunjukan yang bisa berupa pertunjukan tari, musik dan teater, di setiap pertunjukannya memiliki segi keindahan dari penyajiannya, baik itu konsep, cara penyajian atau pemaknaan dari pertunjukan itu sendiri, karna hal tersebutlah yang memberikan kesan berbeda pada seni pertunjukan.

Pertunjukan Tari Merak adalah perlambangan keindahan makhluk ciptaan tuhan berupa burung merak yang memang diberi anugrah oleh tuhan berupa keindahan bulu-bulunya, sehingga setiap penyajian pertunjukan Tari Merak terlihat sekali keanggunan para penarinya untuk menggambarkan keindahan burung merak, baik berupa kostum yang digunakan atau gerakan yang dipertunjukan penarinya, hingga pemaknaan bahwa kita harus selalu mensyukuri anugrah yang diberikan tuhan amat terasa ketika kita melihat pertunjukan tersebut. Dalam pertunjukan musik orkestra, sebagai penonton kita bisa merasakan keindahan dari harmoni musik yang begitu megah yang dilantukan para penyajinya, hiingga keindahan sebuah pertunjukan musik benar-benar terasa, tidak seperti musik-musik yang selalu kita lihat pada pagi hari di acara-acara televisi yang hanya mengandalkan wajah yang ganteng atau cantik, atau hanya mengandalkan warna musik yang semakin aneh, namun ada sedikit kebanggaan dalam perkembangan pertunjukan musik sekarang ini, masyarakat terasa memiliki rasa cinta terhadap produk bangsa sendiri, dapat dilihat di televisi Indonesia, sudah jarang sekali terlihat pemutaran video clip dari luar negri, video clip di televisi sudah di dominasi oleh video clip lokal.

Dalam pertunjukan teater, misal The Boor atau "Enggak Sopan" karya Anton Chekov yang pernah dipertunjukan Teater Karoeng, terlihat terasa begitu indah. Dari susunan dialog yang disajikan dengan baik oleh aktor-aktornya yang memadukannya dengan apik antara emosi dengan gesture tubuh dan ditambah lagi paduan musik, pencahayaan dan dekorasi yang mendukung pementasan teater tersebut. Teater yang menurut Moulton adalah "hidup yang dilukiskan dengan gerak" (Life presented in action), dapat terlihat dalam pemaknaan dari pertunjukan Enggak Sopan. Pemaknaan yang berupa kenyataan bahwa cinta bisa datang kapan saja atau pada siapa saja. Walupun digambarkan di atas pentas oleh seorang penagih hutang yang mencintai seorang wanita yang ditagihnya, yang sepertinya jarang kisah seperti itu dalam sinetron-sinetron yang sering tampak di televisi yang hanya menambah beban pikiran para ibu rumah tangga saja, apalagi pertunjukan teater disajikan secara visual diatas pentas, hingga benar-benar terasa keindahannya karena dapat dilihat langsung oleh mata pergerakan para pemainnya tanpa dihalangi layar kaca.

 Keindahan-keindahan seperti itulah yang sebaiknya hadir dalam setiap seni pertunjukan. Bukan berarti mengeyampingkan bentuk keindahan lain yang dianut oleh sebagian penikmat kesenian, namun bila dalam sebuah seni pertunjukan terdapat bentuk penyajian yang baik dan terkonsep, serta pemaknaan yang bermanfaat, hingga bisa memberikan pendidikan atau pengajaran kepada penikmatnya, sepertinya seni pertunjukan akan lebih digemari dan disukai. Unsur pengajaran tentang kehidupan yang sekarang diperlukan dalam seni pertunjukan, tanpa mengurangi bentuk penyajian dan konsep seni pertunjukan yang berkembang sekarang ini, agar seni pertunjukan itu memiliki bentuk yang berbeda dan terus berkembang, Keindahan seni pertunjukan adalah sesuatu yang muncul dari bentuk, makna, dan cara penyajian pertunjukan itu sendiri yang dapat menghasilkan rasa kagum terhadap karya pertunjukan tersebut.