Kamis, 22 November 2012

Info Pementasan

 

Teater Sastra Universitas Indonesia
Mempersembahkan

Musuh Masyarakat
Karya/sutradara : I. Yudhi Soenarto
Adaptasi dari karya Henrik Ibsen ‘An
Enemy of The People’

Graha Bhakti Budaya, Jumat-Minggu, 23 – 25 November 2012
HTM : Rp. 100.000,- | Rp. 75.000,- | Rp. 50.000,- | Rp. 30.000,-

Pada tahun 1830, seorang dokter di Bohemia (sekarang wilayah Czech Republic) membuat surat peringatan tentang menjangkitnya wabah kolera di daerah wisata tempat ia tinggal. Bukan pujian yang ia dapat, tapi kemarahan masyarakat, karena surat itu membuat para turis takut berkunjung. Ia pun menjadi musuh masyarakat dan terusir dari tempat tinggalnya. Di Oslo (dulu Christiania, Norwegia) pada tahun 1880, kisah serupa terjadi juga ketika seorang ahli kimia mempersoalkan kebersihan sebuah dapur umum. Kisah-kisah inilah, kemungkinan besar, yang mengilhami Henrik Ibsen untuk menulis drama berjudul Musuh Masyarakat pada tahun 1882. Ibsen sendiri sempat merasakan menjadi ‘musuh masyarakat’ setelah di tahun 1881 ia menulis dan mementaskan drama Hantu-hantu yang berkisah tentang penyakit menular seksual (syphilis) yang menjangkiti keluarga kelas menengah atas. 

 

Dengan meminjam karya Henrik Ibsen, dalam produksi kali ini, Teater Sastra UI akan mementaskan kisah individu melawan masyarakat yang berjudul Musuh Masyarakat.Oleh I. Yudhi Soenarto drama tragedi modern ini diadaptasi ke dalam konteks masyarakat Indonesia masa kini, yang tentu saja telah berkembang jauh lebih kompleks dari masyarakat di jaman Ibsen hidup. Meskipun demikian, esensi yang ingin kami sampaikan tetap sama, bahwa kebenaran faktual hampir selalu kalah dari kemunafikan, kebodohan, keserakahandan kebiasaan korup yang telah terlanjur dianggap sebagai kewajaran dan ‘kebenaran’ kolektif.

Acara ini terselenggara atas kerjasama antara PKJ-Taman Ismail Marzuki dan Teater Sastra Universitas


Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan Indonesia yang paling diperhitungkan di dunia internasional. Pribadinya keras, kalau bicara selalu lugas, ceplas-ceplos, tapi menggigit”dan selalu memiliki substansi. Pram, panggilan akrabnya, memiliki pengaruh yang kuat di kalangan aktivis prodemokrasi, melalui novel-novel yang di tulisnya. Novelnya yang terkenal adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik dan Arok Dedes, novel-novelnya menjadi bacaan wajib para aktivis. Dan sebagian novelnya ditulis ketika ia dipenjarakan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru.


Pram Kelahiran Jetis, Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, mulai menulis sejak ia duduk di Sekolah Rakyat. Bakat ini ia warisi dari ayahnya, Toer, bekas guru dan aktivis PNI cabang Blora. Karya pertamanya, Kemana, muncul di majalah Pancaraya tahun 1947. Saat itu ia masih tercatat sebagai murid di Taman Siswa. Di tahun yang sama, terbit novelnya, Kranji Bekasi Jatuh dan Sepuluh Kepala Nica.


Pram begitu sering mengalami perampasan hak dan kebebasan. Tercatat pada zaman revolusi kemerdekaan, ia dipenjara oleh Belanda di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), kemudian di jebloskan lagi ke penjara pada zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia dan dibuang ke Pulau Buru oleh penguasa Orde Baru, setelah meletusnya G-30/S. Ia baru menghirup udara bebas pada bulan Desember tahun 1979, meskipun harus kehilangan sebagian pendengarannya karena kepalanya dihantam popor senjata.


Sosok Pram menampakkan karakter yang keras. “Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek”, tuturnya.


Ia tergolong penulis yang serius mempersiapkan diri sebelum berkarya. Ia adalah sosok pendokumentasi data yang baik, dan mampu membungkus data-data yang akurat dengan alur cerita yang memukau dan gaya bahasa yang orisinil. Itulah sebabnya banyak pihak menilai karya-karya memiliki standar mutu literer yang tinggi. Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri telah membuktikannya. Pram menerima Freedom-to-write Award dari PEN American Center (1989), The Fund for free Expression Award (1990), Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award dari Filipina (31 Agustus 1995). Banyak novelnya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Mute’s Soliloquy (Hyperion East, New York). Ini membuktikan supremesi Pram dalam dunia sastra. Hingga kini karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.


Sebagian besar karyanya menyuarakan perlunya memberontak dari tatanan yang tidak adil. Penjajahan dan perampasan hak adalah sesuatu yang harus dilawan. Karena ketidakadilan merupakan produk dari struktur, maka struktur itu juga harus dilawan.


Sepanjang dekade 60-an, perjalanan hidup Pram diwarnai dinamika yang sangat dramatis. Ia terjebak dalam perseteruan antara kubu Lekra (komunis) dan penandatanganan Manifes Kebudayaan. Ia terjepit dalam konflik politik antara kaum komunis, agama, dan angkatan darat. Tak tahu apa-apa soal G 30 S, ia menjadi korban. Rumahnya digerebek, dokumen-dokumen berharga miliknya dihancurkan oleh tentara. Bagi seorang penulis, dokumen-dokumen tersebut ibarat nyawa.


Meski perjalanan hidupnya sebagian begitu getir, Pram tetap konsisten untuk terus menulis. Totalitasnya dalam dunia kepenulisan tetap terjaga. Sayangnya, Pram belum atau tidak akan menyiapkan pengganti yang akan meneruskan jejak langkahnya, “Jadi pengarang itu mengerikan. Anak-anak saya menyimak nasib ayahnya”, katanya. Akibat penyakit radang paru-paru yang diidapnya semakin kronis dan disertai komplikasi dengan penyakit jantung dan diabetes, Pram akhirnya menutup lembaran kisah hidupnya pada hari Minggu tanggal 30 April 2006, jenazahnya di makamkan di pemakaman Umum Karet Bivak Jakarta Pusat. Selamat Jalan Pak Pram.***


(Dari Berbagai Sumber)

Biografi Arifin C. Noer



Arifin C. Noer




Dilahirkan di Cirebon tanggal 10 Maret 1941, Arifin C. Noer memulai kiprahnya dalam dunia seni sejak kecil. Minatnya pada kesenian telah tumbuh sejak masih duduk di bangku SMP. Ia mengarang cerpen dan puisi, lalu mengirimkannya ke majalah mingguan yang terbit di Cirebon dan Bandung. Honor yang diperoleh dari menulis ia pergunakan untuk membeli buku-buku sastra, terutama kisah petualangan yang sangat di sukainya. Komedi Manusia karya William Saroyan merupakan salah satu buku yang sangat berkesan baginya saat itu.


Sejak tahun 1957 secara berkala ia mengirimkan karya-karyanya berupa puisi dan naskah sandiwara untuk kebutuhan RRI Cirebon. Aktivitas kesenian dia lakukan selepas sekolah dan setelah membantu Pak Adnan ayahnya mengipasi sate di warung makan milik keluarganya. Dua kali seminggu dia berlatih sandiwara dan menyanyi di bawah bimbingan Mus Mualim, salah satu musisi andal negeri ini. Kegiatan yang sempat membuat namanya tercatat sebagai juara lomba menyanyi seriosa tingkat daerah. Setamat SLA ia melanjutkan studinya di Universitas Cokroaminato Solo, dimana ia bergabung dengan Teater Muslim pimpinan Mohammad Diponegoro. Pada periode ini lahir karya-karya seperti Sumur Tanpa Dasar, Ia Telah Datang Ia Telah Pergi dan Mega-Mega.


Tahun 1968, ia hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Ketjil. Pada periode ini lahir sejumlah karya seperti Kapai-kapai, Kisah Cinta Dll, AA II UU, serta pentalogi Orkes Madun : Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang, Sandek Pemuda Pekerja, Dalam Bayangan Tuhan dan Ozone. Naskah-naskahnya serta-merta menarik minat teaterawan dari generasi yang lebih muda, sehingga di mana-mana orang mementaskan karya Arifin C Noer. Banyak karya Arifin yang kemudian diterjemahkan ke bahasa lain seperti Inggris, Swedia, Prancis, Belanda, Flams dan Cina dan di pentaskan di berbagai Negara seperti Malaysia, Amerika, Australia, negara-negara Benelux, Singapura dan Swedia oleh kelompok teater setempat.


Sebagai pekerja seni, Arifin C Noer memberi sumbangan yang besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia. Karya-karya tulisnya berupa naskah lakon yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh Teater Ketjil yang dipimpinnya, membuktikan kedudukannya sebagai salah satu pencetus bentuk teater modern. Kiprahnya sebagai sutradara kemudian membawanya pula ke dunia layar perak. Pada kurun 70-an skenarionya seperti Pemberang, Rio Anakku dan Sanrego menangguk penghargaan. Sutradara terbaik versi FFI diperolehnya melalui film Serangan Fajar dan Taksi yang mengukuhkan namanya sebagai salah satu seniman terpenting di Indonesia. Karya-karyanya juga mengambil peran di berbagai festival Internasiona dan Indonesia. Teater Timur yang dipahami orang barat, seluruh bahasanya sendiri


Pada tahun 1967 salah satu karyanya, Mega-Mega mendapatkan hadiah sebagai lakon sandiwara terbaik dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI). Ia juga sempat menerima Anugrah Seni dari pemerintah RI (1971) dan Sea Write Award dari Kerajaan Thailand (1990) untuk bidang sastra. Ditambah sejumlah penghargaan lain dari bidang film, lengkaplah Arifin sebagai tokoh dari sejumlah bidang seni. Belum lagi sumbangannya berupa pemikiran yang dituangkan dalam tulisan-tulisan, baik yang dimuat dalam media massa maupun diperbanyak sebagai materi workshop, seminar dan lokakarya.


Pada tanggal 28 Mei 1995 Arifin C Noer meninggal dunia karena sakit lever dan kanker. Beberapa karyanya tak sempat terselesaikan, namun kegelisahannya terus hidup sebagai inspirasi bagi para penerusnya di jagad kesenian Indonesia.




Rabu, 21 November 2012

Menjaga Budaya menuju Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI 2013 (Medan)


Oleh Rian Harahap, S.Pd


            “Aku akan tetap mencintaimu meskipun aku terperangkap mati dalam kehidupan”, sebut perempuan yang termangu dan dipasung itu. Seketika lampu panggung padam dan seluruh ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan. Begitulah kiranya kalimat akhir dari pertunjukan yang ditaja teater Lakon Kesenian Kampus (LKK) Universitas Negeri Medan dalam Temu Teater Mahasiswa Nasional X, Purwokerto pada 9-15 Juli 2012. Setelah naik panggung pada pertengahan juni lalu mereka dengan yakin berangkat dan menunjukkan karyanya yang diangkat dari hasil observasi kehidupan di Sumatera Utara untuk diapresiasi oleh teater kampus se-Nusantara. Naskah yang berjudul ‘Belenggu’ tersebut mampu menaikkan kembali pamor teater kampus di kota Medan. Masalah pemasungan dan keterbelakangan penanganan sosial di keluarga di pedalaman daerahnya membuat ini perlu diangkat ke permukaan.
              Medan kembali menjadi garang dalam teater kampus nasional. Tak pelak ini adalah hasil dari proses kreatif yang selalu dijaga di komunitas masing-masing. Tak hanya teater LKK saja yang hadir dalam helatan ini. Tentu saja dengan kekuatan dan kekompakan mereka, teater O (USU), Alif (IAIN-SU), SH 82 (FH-UMSU), Post Arca 52’ (ITM) dan Sisi (UMSU) juga membuat mata nasional tak berpaling dari kerasnya logat dan tradisi yang dijaga mereka. Bisa dilihat dari teater O yang selalu dengan satire khas Medan. Meski naskah kali ini tidak ditulis oleh Yulhasni namun tetap saja kritikan-kritikan itu tertata rapi dalam lakon komedi berjudul ‘Tukang Tipu’. Berbeda dengan kedua teater di atas. Dua komunitas terakhir tak mementaskan sebuah pertunjukan drama namun lebih kepada tradisi budaya. Sanggar Hukum 82’ misalnya dengan tegas mengatakan bahwa tari Tor-Tor adalah milik Indonesia (Sumut) dengan sajian serta Gondang Bolon dari teater Sisi. Keberadaan teater kampus Medan mulai ditilik sebagai pencapaian yang lumayan.
              Teater kampus hidup dalam perkembangan yang luar biasa drastis meningkat. Ini terlihat dari zaman tahun 90-an ketika itu masih akrab sekali kita mendengar teater independen yang berkecimpung di Taman Budaya. Terbentuknya teater kampus juga tidak lepas dari andil seniman dan sastrawan taman budaya tersebut meski teater kampus juga lahir dari aksi jalanan di era reformasi yang menuntut sebuah teaterikal. Teaterikal dianggap mampu membius kala itu sebagai sebuah sindiran terhadap pemerintahan hingga akhirnya ada sebuah sikap yang harus dipertahankan dalam teaterikal. Maka banyaklah terbentuk teater kampus sebagai bentuk sebuah wadah seni dan budaya.
               Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis.
                Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.
                 Kehadiran di Purwokerto bukan sekedar mengisi absen dan pengakuan bahwa kota Medan masih memiliki teater kampus. Teater yang berasal dari kampus dan notabenenya menjadi kontrol atas permasalahan sosial yang tak terjamah teater independen. Ada hal yang lebih penting dari itu melihat Sumatera Utara mulai doguncang dengan isu kebudayaan yang dengan sengaja ingin dicaplok oleh negara tetangga. Kajian seni dan budaya inilah yang membuat kedatangan ke Purwokerto ini berbeda. Temu Teater Mahasiswa Nasional (Temu Teman) sudah memasuki periode yang matang. Pertemuan teater kampus di seluruh Indonesia ini menjadi ajang tahunan yang wajib digelar.
                  Hal-hal yang ditawarkan Temu Teman pada saat itu adalah event pertunjukan teater yang mengedepankan apresiasi, dan sharing antara segenap komunitas teater kampus yang menjadi peserta, sehingga ada semacam dialektika intelektual yang terjadi di dalamnya. Mengapa dialektika itu sangat diperlukan, karena banyak perbedaan persepsi ataupun konsep yang ada di tiap-tiap komunitas. Tidak perlu mencapai persamaan dalam hal tersebut tetapi lebih pada bentuk kesepahaman perbedaan yang tentunya akan memberi dampak positif berupa ilmu pengetahuan untuk perkembangan teater kampus di Indonesia, terciptanya transformasi pengetahuan dan informasi antar pulau sehingga perkembangan teater kampus di Indonesia akan bersifat menyeluruh. Tentu ini hal yang sangat diidam-idamkan dalam kesenian di lingkungan mahasiswa.
                Menilik lagi sejarahnya maka Temu Teman telah sampai pada usia yang kesepuluh tahun. Even ini diikrarkan pada 22 April 2002 di Makasar lalu berturut-turut pada tahun berikutnya Universitas Tadulako Palu (2003), Universitas Negeri Gorontalo (2004), Universitas Lambung Mangkurat (2005), Banjarmasin, Universitas Islam Negeri Malang (2006), Universitas Dr Soetomo Surabaya (2007), Bali (2008), Institut Pertanian Bogor(2009), Univesitas Islam Negeri Riau (2010) dan STAIN Purwokerto (2011). Keberadaan inilah yang membuat teater kampus semakin lama harus semakin kritis dalam menyikapi masalah-maslaah yang ada disekitarnya. Teater sebagai ruang publik yang bisa dijadikan pesan agar ada perubahan bagi lingkungan. Bagian dari suara-suara rakyat yang terkungkung dalam kebisuan.
                 Berbagai macam latar belakang hadir dalam setiap Temu Teman dan jumlah hampir seribuan orang. Sehingga akan lebih bermanfaat jika pertemuan ini disikapi dengan pertunjukan yang memaparkan tradisi dan kearifan lokal dari daerah masing-masing meski tidak mengesampingkan masalah-masalah yang lebih urgen. Teater berbicara tentang wirasa, wiraga dan wirama. Ada hal yang sangat substansial dalam proses penggarapan setiap naskah dan dibedah agar sampai kepada penonton. Penyampaian itu bukan hanya sebatas tepuk tangan dan teriakan seusai pementasan, namun pesan itu harus terjaga di benak penonton tersebut dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.
                 Begitulah harapan dari pertunjukan teater yang cerdas, teater kampus. Melihat antusiasme teater kampus tersebut, ada celetukan yang keluar dari teater kampus di Nusantara. Mereka mempunyai opini jika sudah saatnya Medan menaja sebuah perhelatan nasional di kotanya. Namun ide bagus itu harus diurungkan sebab masih banyak pekerjaan rumah teater kampus yang harus dibenahi. Meskipun juga fasilitas gedung pertunjukan juga masih jauh dari syarat kata standar.
                  Pada hakikatnya teater kampus Medan sudah rindu akan sebuah iklim dimana teater kampus bukan untuk ditilik dari segi organisasi yang memang dihuni oleh akademisi. Namun pengorganisasiannya lebih baik berhaluan kepada prinsip kekeluargaan dan bukan untuk dipolitisir. Teater kampus Medan harus lebih banyak membahas dramaturgi meski tak sepenuhnya, menilik manajemen produksi meski tak sesempurna event organizer. Masa depan kebudayaan dan seni Sumatera Utara kini masih ditanggung oleh akademisi-akademisi muda yang masih berkutat dengan buku. Semoga mereka tidak hanya berkutat dengan politisir yang dibuat di ranah kesenian dan budaya.
                  Maka tak pelak pula kedatangan teater kampus kota Medan yang tergabung dalam Komunitas Teater Kampus Medan (KOTAK) yang datang ke Purwokerto pada membawa misi bahwa sudah saatnya Nusantara mengenal Sumatera Utara lebih dekat. Pencalonan tuan rumah pun disepakati menjadi kenyataan untuk tahun depan. Tepatnya kota Medan berhak menjadi tuan rumah Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI (2013). Sekitar ribuan aktor, sutradara dan penata pertunjukan akan melihat isi dan mengupas kulit yang biasa ditekan dan dicaplok oleh pengakuan negara lain. Kebudayaan Sumatera Utara bangkitlah, siapkan mata teater kampus. Semoga!

Rian Harahap penulis adalah guru, aktor dan sutradara teater kampus. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU. Tulisannya dimuat di Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Pekanbaru Pos, Analisa, Waspada dan Medan Bisnis.

Selasa, 20 November 2012

Keindahan Seni Pertunjukan


Keindahan seni pertunjukan

Oleh : A. Dayari (Anggota Teater Karoeng)

 

Hentakan musik dangdut diiringi goyangan panas para penyanyinya menghentak dinginnya malam. Semua itu terllihat jelas dalam sebuah acara pernikahan di daerah pinggiran kota Bogor. Seperti biasa, dalam acara pernikahan sering terlihat adanya panggung hiburan dangdut yang bisa sedikit mengurangi penat pikiran para penontonnya yang setiap hari disibukkan dengan masalah-masalah kehidupan. Terlihat indah memang bila kita bisa menonton hiburan tersebut dalam kacamata para penontonnya yang kebanyakan berprofesi sebagai supir angkot, tukang ojek atau buruh kasar. Hiburan dangdut merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan, tapi apakah ini bisa disebut dengan keindahan seni pertunjukan?

Pada dasarnya seni pertunjukan adalah kesenian yang dipertontonkan pada khalayak ramai sebagai objeknya, namun kesenian panggung dangdut yang mengumbar aurat biduannya rasanya tidak tepat disebut sebagai salah satu bentuk keindahan seni pertunjukan. Bila kita melihat keindahan ini dari segi estetika atau juga  pemaknaan pertunjukan tersebut, seni pertunjukan yang bisa berupa pertunjukan tari, musik dan teater, di setiap pertunjukannya memiliki segi keindahan dari penyajiannya, baik itu konsep, cara penyajian atau pemaknaan dari pertunjukan itu sendiri, karna hal tersebutlah yang memberikan kesan berbeda pada seni pertunjukan.

Pertunjukan Tari Merak adalah perlambangan keindahan makhluk ciptaan tuhan berupa burung merak yang memang diberi anugrah oleh tuhan berupa keindahan bulu-bulunya, sehingga setiap penyajian pertunjukan Tari Merak terlihat sekali keanggunan para penarinya untuk menggambarkan keindahan burung merak, baik berupa kostum yang digunakan atau gerakan yang dipertunjukan penarinya, hingga pemaknaan bahwa kita harus selalu mensyukuri anugrah yang diberikan tuhan amat terasa ketika kita melihat pertunjukan tersebut. Dalam pertunjukan musik orkestra, sebagai penonton kita bisa merasakan keindahan dari harmoni musik yang begitu megah yang dilantukan para penyajinya, hiingga keindahan sebuah pertunjukan musik benar-benar terasa, tidak seperti musik-musik yang selalu kita lihat pada pagi hari di acara-acara televisi yang hanya mengandalkan wajah yang ganteng atau cantik, atau hanya mengandalkan warna musik yang semakin aneh, namun ada sedikit kebanggaan dalam perkembangan pertunjukan musik sekarang ini, masyarakat terasa memiliki rasa cinta terhadap produk bangsa sendiri, dapat dilihat di televisi Indonesia, sudah jarang sekali terlihat pemutaran video clip dari luar negri, video clip di televisi sudah di dominasi oleh video clip lokal.

Dalam pertunjukan teater, misal The Boor atau "Enggak Sopan" karya Anton Chekov yang pernah dipertunjukan Teater Karoeng, terlihat terasa begitu indah. Dari susunan dialog yang disajikan dengan baik oleh aktor-aktornya yang memadukannya dengan apik antara emosi dengan gesture tubuh dan ditambah lagi paduan musik, pencahayaan dan dekorasi yang mendukung pementasan teater tersebut. Teater yang menurut Moulton adalah "hidup yang dilukiskan dengan gerak" (Life presented in action), dapat terlihat dalam pemaknaan dari pertunjukan Enggak Sopan. Pemaknaan yang berupa kenyataan bahwa cinta bisa datang kapan saja atau pada siapa saja. Walupun digambarkan di atas pentas oleh seorang penagih hutang yang mencintai seorang wanita yang ditagihnya, yang sepertinya jarang kisah seperti itu dalam sinetron-sinetron yang sering tampak di televisi yang hanya menambah beban pikiran para ibu rumah tangga saja, apalagi pertunjukan teater disajikan secara visual diatas pentas, hingga benar-benar terasa keindahannya karena dapat dilihat langsung oleh mata pergerakan para pemainnya tanpa dihalangi layar kaca.

 Keindahan-keindahan seperti itulah yang sebaiknya hadir dalam setiap seni pertunjukan. Bukan berarti mengeyampingkan bentuk keindahan lain yang dianut oleh sebagian penikmat kesenian, namun bila dalam sebuah seni pertunjukan terdapat bentuk penyajian yang baik dan terkonsep, serta pemaknaan yang bermanfaat, hingga bisa memberikan pendidikan atau pengajaran kepada penikmatnya, sepertinya seni pertunjukan akan lebih digemari dan disukai. Unsur pengajaran tentang kehidupan yang sekarang diperlukan dalam seni pertunjukan, tanpa mengurangi bentuk penyajian dan konsep seni pertunjukan yang berkembang sekarang ini, agar seni pertunjukan itu memiliki bentuk yang berbeda dan terus berkembang, Keindahan seni pertunjukan adalah sesuatu yang muncul dari bentuk, makna, dan cara penyajian pertunjukan itu sendiri yang dapat menghasilkan rasa kagum terhadap karya pertunjukan tersebut.

 

Menulis Naskah Drama


NASKAH


 

          Setelah kita mengenal berbagai macam dasar yang diperlukan untuk bermain drama, akhirnya sampailah kita pada naskah. Naskah disini diartikan sebagai bentuk tertulis dari suatu drama. Sebuah naskah walaupun telah dimainkan berkali-kali, dalam bentuk yang berbeda-beda, naskah tersebut tidak akan berubah mutunya. Sebaliknya sebuah atau beberapa drama yang dipentaskan berdasarkan naskah yang sama dapat berbeda mutunya. Hal ini tergantung pada penggarapan dan situasi, kondisi, serta tempat dimana dimainkan naskah tersebut.

          Sebuah naskah yang baik harus memiliki tema, pemain / lakon dan plot atau rangka cerita.

  1. Tema

Tema adalah rumusan inti sari cerita yang dipergunakan dalam menentukan arah dan tujuan cerita. Dari tema inilah kemudian ditentukan lakon-lakonnya.

  1. Lakon

Dalam cerita drama lakon merupakan unsur yang paling aktif yang menjadi penggerak cerita.oleh karena itu seorang lakon haruslah memiliki karakter, agar dapat berfungsi sebagai penggerak cerita yang baik. Disamping itu dalam naskah akan ditentukan dimensi-dimensi sang lakon. Biasanya ada 3 dimensi yang ditentukan yaitu :

v      Dimensi fisiologi    ; ciri-ciri badani

usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, cirri-ciri muka,dll.

v      Dimensi sosiologi   ; latar belakang kemasyarakatan

status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dll.

v      Dimensi psikologis ; latar belakang kejiwaan

temperamen, mentalitas, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dll. 

Apabila kita mengabaikan salah satu saja dari ketiga dimensi diatas, maka lakon yang akan kita perankan akan menjadi tokoh yang kaku, timpang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang mati.

  1. Plot

Plot adalah alur atau kerangka cerita. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa didalam naskah. Secara garis besar, plot drama dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

§         Pemaparan (eksposisi)

Bagian pertama dari suatu pementasan drama adalah pemaparan atau eksposisi. Pada bagian ini diceritakan mengenai tempat, waktu dan segala situasi dari para pelakunya. Kepada penonton disajikan sketsa cerita sehingga penonton dapat meraba dari mana cerita ini dimulai. Jadi eksposisi berfungsi sebagai pengantar cerita.

§         Dialog

Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para lakon harus berbicara dan apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat kecerdasannya, pendidikannya, dsb. Dialog berfungsi untuk mengemukakan persoalan, menjelaskan perihal tokoh, menggerakkan plot maju, dan membukakan fakta.

§         Komplikasi awal atau konflik awal

Kalau pada bagian pertama tadi situasi cerita masih dalam keadaan seimbang maka pada bagian ini mulai timbul suatu perselisihan atau komplikasi. Konflik merupakan kekuatan penggerak drama.

§         Klimaks dan krisis

Klimaks dibangun melewati krisis demi krisis. Krisis adalah puncak plot dalam adegan. Konflik adalah satu komplikasi yang bergerak dalam suatu klimaks.

§         Penyelesaian (denouement)

Drama terdiri dari sekian adegan, dimana didalamnya terdapat krisis-krisis yang memunculkan beberapa klimaks. Satu klimaks terbesar dibagian akhir selanjutnya diikuti adegan penyelesaian.

Teater Realis Menurut Max Arifin

BELAJAR TEATER REALIS MASIH DIANGGAP KUNO WAWANCARA DENGAN MAX ARIFIN:

Akhir-akhir ini teater gaya realis kembali dimunculkan. Menurut Max Arifin, generasi baru teater sedang kehilangan referensi. Dia sering menyebut teater sebagai study. Sebab itu ia menduga, dengan kembalinya teater gaya realis, ada usaha untuk mengembalikan pada tradisi berpikir.

Dalam tahun ini tiga festival teater realis digelar. Pekan Seni Mahasiswa tangkai teater pada bulan Agustus 2004 lalu, para peserta diharapkan menggarap teater bergaya realis. Begitu juga pada bulan September, Festival Teater Remaja [FTR] Jatim yang diselenggarakan Taman Budaya Jatim[TBJT], memberikan naskah-naskah ke peserta, banyak condong ke realis. Sementara dalam bulan ini, Dewan Kesenian Jakarta [DKJ], menggelar Panggung Realis Teater Indonesia.

‘Kembalinya’ teater gaya realis ini banyak yang mempertanyakan. Komunitas teater di Jember misalnya, pernah memprotes atas pilihan gaya teater realis yang disodorkan panitia kepada kelompok teater kampus. Mereka menganggap, teater realis bisa menjadi ‘alat’ pembunuhan teater. Bahkan dengan keras mereka menanyakan, apakah teater harus saling membunuh?
Begitu juga saat digelar FTR di TBJT, ada yang memprotes, hadirnya teater realis bisa menjadi kendala perkembangan teater di Surabaya, terutama soal pemahaman terhadap bentuk teater. Bahkan, ada yang melontarkan statemen , ada usaha memaksakan politik credo, dengan mengusung dramaturgi sebagai alat pembenaran teater.

Di samping peredabatan itu, sebenarnya sejauh mana para aktivis teater kita paham tentang teater realis? Dalam pertemuan technical meeting dengan peserta pekan seni mahasiswa di Jember, bisa disimpulkan, rata-rata peeserta kurang banyak referensi tentang teater realis. Menurut Max Arifin, generasi muda teater Indonesia telah kehilangan referensinya untuk membuat sebuah peristiwa teater.

“Jadi ada benarnya kalau sekarang kembali pada gagasan realisme, agar mereka tahu proses sebuah teater yang baik,” kata Max Arifin.

Max Arifin adalah salah satu tokoh perteateran di Indonesia yang sangat intens mengamati, menulis kritik, menerjemahkan buku, menjadi pembicara, juri, kurator teater, bahkan menulis buku teater, sudah dilakoninya sejak tahun 70-an. Di tempat tinggalnya, Griya Japan Raya, Jl.Bola Volley Blok E33, Sooko, Mojokerto, kepada wartawan harian SuaraIndonesia, R.Giryadi, Max Arifin menguraikan sejauh mana teater realis berkembang di Indonesia yang mendapatkan referensinya dari perkembangan teater realis di Barat? Berikut petikan wawancaranya.

Sejak kapan teater realis berkembang di Indonesia?
Teater realis di barat berkembang pada akhir abad 19. Di Indonesia sendiri mengenal teater realis setelah masa perang berakhir bahkan mulai dipelajari secara baik setelah berdiri perguruan tinggi teater seperti ATNI[ Akademi Teater Nasional Indonesia], Asdrafi [Akademi Seni Drama dan Film], dan perguruan tinggi yang lain. Kemudian beberapa kelompok teater ada yang sangat serius mendalami teater realis, seperti teater Populer nya Teguh Karya.

Di barat sendiri teater realisnya seperti apa?
Jadi teater realis itu muncul ketika dunia teater barat memasuki abad modern. Tokoh teater realis mencoba membuang apa yang disebut the theatre of histrionics dalam bidang acting dan ekses yang terlalu dibuat-buat. Seperti well-made play ala Victorian.
Salah satu tokoh gerakan ini adalah Henrik Ibsen yang karya-karyanya terus menjadi inspirasi bagi pemikir sesudahnya, seperti Bernard Shaw [Inggris], George Jean Nathan [AS].

Tetapi paham ini didasari oleh apa?
Paham modernisme awal abad 19 adalah awal kebudayaan berpikir yang dipengaruhi oleh berkembangbiaknya budaya buku. Dengan berpikir kesadaran diaktifkan, pernyataan dan wacana dapat dikaji ulang secara kritis, rinci dan meyakinkan.

Artinya teater sebagai ilmu pengetahuan?
Semangat ilmu pengetahuan memang benar-benar mengubah gaya teater romantisme yang berkembang dalam abad sebelumnya. Dalam hal ini, penulis lakon harus menjadi pengamat yang subyektif. Mereka menciptakan apa yang disebut the illusion of reality di atas pentas. Bingkai proscenium of reality diubah menjadi semacam pictute window. Lewat jendela itu kita bisa melihat peristiwa yang kini, di sini dan sekarang terjadi.

Max Arifin atau nama lengkapnya Mohammad Arifin, lahir di Sumbawa Besar tahun 1936. Ketika di Mataram Lombok, dia mengajar teknik penyutradaraan pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram. Selain itu dia juga sibuk menjadi pegawai di Dikbud NTB bekerja pada seksi sastra dan drama [modern dan tradisional].
Sejak tahun 1970-an sering mengikuti pertemuan-pertemuan teater. Pada tahun 1977 ikut menyusun materi keterampilan seni teater di Ambarawa. Tahun 1978, mengikuti seminar teater di Bandung. Selain sibuk mengikuti pertemuan teater Max Arifin juga menerjemahkan buku-buku tentang teater, novel dan cerpen.

Sekarang gagasan teater realis kembali ditawarkan, di tengah perkembangan teater modern Indonesia. Bahkan lembaga seperti Dewan Kesenian Jakarta menggelar Panggung Realis Teater Indonesia.
Menurut Anda, mengapa gagasan teater realis dimunculkan kembali?
Dugaan saya, ini usaha mengembalikan pada proses teater yang baik. Dengan begitu, para generasi muda kita yang getol dengan teater tidak kehilangan referensinya ketika memahami teater. Dugaan saya yang lain, barangkali ini juga usaha mengembalikan wacana berpikir dalam proses berteater. Karena saya melihat perkembangan teater kita carut-marut, seperti tanpa arah.

Bukankah pada tahun 60-an teater kita sudah berkembang dengan baik?
Itulah, saat ini menurut dugaan saya, barangkali kita butuh wacana teater realis yang Indonesia. Bukan adopsi dari barat. Kalaupun ada gaya realis Rendra misalnya, itu kan hanya mengambil sebagian barat dan sebaian timur dalam hal ini Jawa.

Di Indonesia sendiri apakah ada teater realis?
Di Jepang seperti dalam bukunya David Goodman, diterangkan bahwa ada tiga teater realis gaya Jepang. Dalam buku itu disebutkan shejitsu merupakan refkeksi aktual, shashin merupakan refleksi kebenaran, dan shasei merupakan refkeksi kehidupan. Ini kan menunjukkan ciri-ciri teater realis. Pertanyaannya apakah Indonesia punya ciri-ciri seperti itu?

Kalau begitu yang dimaksud realis dalam kontek kebudayaan Indonesia sendiri seperti apa?
Ini sulit sekali menilai. Study Club Teater Bandung [STB] pimpinan Alm.Suyatna Anirun misalnya masih sebatas mengadaptasi naskah barat ke gaya sunda. Begitu juga Bengkel Teater Rendra, juga masih sebatas mengadaptasi, mengaktualisasikan tema-tema barat ke Indonesia. Ini sah. Tetapi yang benar-benar digali dari persoalan sendiri masih kurang. Bahkan ironisnya, bila kita belajar teater realis masih dianggap kuno.

Ciri-ciri teater realis sendiri apa?
Yang digambarkan dalam lakon-lakon bukanlah pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan yang eksotik, tetapi masalah-masalah biasa.
Bukan mimpi-mimpi dan fantasi-fantasi, tetapi studi ilmiah kehidupan yang aktual. Didasarkan pada observasi yang hati-hati terhadap orang-orang biasa dan tempat-tempat yang riil.
Ciri-ciri pemanggungannyasendiri dibagi atas wilayah-wilayah yang mempunyai nilai sendiri-sendiri di setiap wilayahnya. Seperti pentas dibagi ke dalam sembilan wilayah. Dengan pembagian wilayah ini diharapkan para aktor akan segera menganalisis arena permainan mereka.
Naskah lakon realis haruslah complete an self-contained ,sebuah alur cerita yang padu, rangkaian peristiwa yang disusun atas dasar sebab akibat.

Selain menerjemahkan naskah-naskah drama barat, Max Arifin juga pernah menulis drama sejak tahun 1988. Naskah drama yang pernah ditulis berjudul Putri Mandalika, Matinya Demung Sandubaya, Badai Sepanjang Malam, Balada Sahdi-Sahdia, Tumbal Kemerdekaan.
Selain menerjemahkan naskah drama, Max juga banyak menerjemahkan buku-buku teater yang ditulis oleh Jerzy Grotowski, Bertolth Brecht, Peter Brook, David Goodman,Constantin Stanislavsky.

Tadi dikatakan mempelajari teater realis dianggap kuno. Apakah ini disebabkan oleh kesalahan dalam memahami teater realis?
Realisme telah memberikan inspirasi yang tak akan pernah mati-mati. Karya-karya Bertolt Brech disebut sebagai puncak dari realisme. Teater memang berada di antara semua faktor yang saling melawan dan semua itu memberinya kehidupan dan teater sendiri adalah a life giver. Eksistensi teater adalah rawan, suatu perjuangan yang terus berputar.

Jadi sebenarnya semangat teater realis adalah semangat berpikir. Dan berpikir suatu yang bukan kuno?
Benar.Realisme mencoba merangsang bangkitnya kesadaran kecendekiawanan perteateran dan itulah sebabnya teater realis disebut the theatre of intelligent. Ini argumen mendasar teater modern baik it kaum naturalis, realis, maupun teatrikalis.

Max Arifin sering mengatakan bahwa teater adalah study. Dalam buku Jagad Teater [Bakdi Sumanto:2001], diterangkan semangat realisme yang sebenarnya merangsang seniman untuk kritis terhadap diri sendiri.
Sayang, sikap kritis untuk mengembangkan teaternya sendiri tidak diberi banyak kesempatan untuk tumbuh. Sementara ktitik teater benar-benar macet.
Barangkali, ketika semuanya macet, disinilah peranan realisme dibutuhkan dan kita kembali pada hal yang sangat mendasar bagi manusia: Berpikir !
[wawancara ini dimuat di harian SuaraIndonesia,Minggu, 28 November 2004].

Teater Karoeng


Teater Karoeng merupakan sebuah komunitas mahasiswa, yang bergerak di bidang kesenian, khususnya seni peran. Diresmikan keberadaannya pada tanggal 12 Juli 2003 melalui sebuah pementasan drama berjudul “Tumirah Sang Mucikari” buah karya Seno Gumira Adjidarma. Keberadaannya sekaligus menjadi wadah bagi mahasiswa, dalam menggali serta mengekspresikan potensi diri dan pemikiran. keberadaan Teater Karoeng juga diharapkan mampu membentuk manusia-manusia yang berguna bagi nusa, bangsa, negara dan agama. Agar fungsi dan tujuan Teater Karoeng tersebut tetap terjaga sebagaimana mestinya, maka Teater Karoeng merancang sekaligus melaksanakan berbagai kegiatan kesenian, yang merupakan program kerja dari Teater Karoeng