Pramoedya
Ananta Toer
Pramoedya
Ananta Toer adalah sastrawan
Pram
Kelahiran Jetis, Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, mulai menulis sejak ia
duduk di Sekolah Rakyat. Bakat ini ia warisi dari ayahnya, Toer, bekas guru dan
aktivis PNI cabang Blora. Karya pertamanya, Kemana, muncul di
majalah Pancaraya tahun 1947. Saat itu ia masih tercatat sebagai murid di Taman
Siswa. Di tahun yang sama, terbit novelnya, Kranji Bekasi Jatuh dan
Sepuluh Kepala Nica.
Pram
begitu sering mengalami perampasan hak dan kebebasan. Tercatat pada zaman
revolusi kemerdekaan, ia dipenjara oleh Belanda di Bukit Duri Jakarta
(1947-1949), kemudian di jebloskan lagi ke penjara pada zaman pemerintahan
Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia dan dibuang ke Pulau Buru oleh penguasa
Orde Baru, setelah meletusnya G-30/S. Ia baru menghirup udara bebas pada bulan
Desember tahun 1979, meskipun harus kehilangan sebagian pendengarannya karena
kepalanya dihantam popor senjata.
Sosok
Pram menampakkan karakter yang keras. “Hidup saya dalam penindasan terus,
bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek”,
tuturnya.
Ia
tergolong penulis yang serius mempersiapkan diri sebelum berkarya. Ia adalah
sosok pendokumentasi data yang baik, dan mampu membungkus data-data yang akurat
dengan alur cerita yang memukau dan gaya bahasa yang orisinil. Itulah sebabnya
banyak pihak menilai karya-karya memiliki standar mutu literer yang tinggi.
Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri telah membuktikannya. Pram
menerima Freedom-to-write Award dari PEN American Center (1989), The Fund for
free Expression Award (1990), Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay
Award dari Filipina (31 Agustus 1995). Banyak novelnya telah diterjemahkan ke
beberapa bahasa asing. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul The
Mute’s Soliloquy (Hyperion East, New York ). Ini membuktikan supremesi Pram
dalam dunia sastra. Hingga kini karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 20
bahasa.
Sebagian
besar karyanya menyuarakan perlunya memberontak dari tatanan yang tidak adil.
Penjajahan dan perampasan hak adalah sesuatu yang harus dilawan. Karena
ketidakadilan merupakan produk dari struktur, maka struktur itu juga harus
dilawan.
Sepanjang
dekade 60-an, perjalanan hidup Pram diwarnai dinamika yang sangat dramatis. Ia
terjebak dalam perseteruan antara kubu Lekra (komunis) dan penandatanganan
Manifes Kebudayaan. Ia terjepit dalam konflik politik antara kaum komunis,
agama, dan angkatan darat. Tak tahu apa-apa soal G 30 S, ia menjadi korban.
Rumahnya digerebek, dokumen-dokumen berharga miliknya dihancurkan oleh tentara.
Bagi seorang penulis, dokumen-dokumen tersebut ibarat
nyawa.
Meski
perjalanan hidupnya sebagian begitu getir, Pram tetap konsisten untuk terus
menulis. Totalitasnya dalam dunia kepenulisan tetap terjaga. Sayangnya, Pram
belum atau tidak akan menyiapkan pengganti yang akan meneruskan jejak
langkahnya, “Jadi pengarang itu mengerikan. Anak-anak saya menyimak nasib
ayahnya”, katanya. Akibat penyakit radang paru-paru yang diidapnya semakin
kronis dan disertai komplikasi dengan penyakit jantung dan diabetes, Pram
akhirnya menutup lembaran kisah hidupnya pada hari Minggu tanggal 30 April 2006 , jenazahnya di
makamkan di pemakaman Umum Karet Bivak Jakarta Pusat. Selamat Jalan Pak
Pram.***
(Dari
Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar