Kamis, 22 November 2012

Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan Indonesia yang paling diperhitungkan di dunia internasional. Pribadinya keras, kalau bicara selalu lugas, ceplas-ceplos, tapi menggigit”dan selalu memiliki substansi. Pram, panggilan akrabnya, memiliki pengaruh yang kuat di kalangan aktivis prodemokrasi, melalui novel-novel yang di tulisnya. Novelnya yang terkenal adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik dan Arok Dedes, novel-novelnya menjadi bacaan wajib para aktivis. Dan sebagian novelnya ditulis ketika ia dipenjarakan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru.


Pram Kelahiran Jetis, Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, mulai menulis sejak ia duduk di Sekolah Rakyat. Bakat ini ia warisi dari ayahnya, Toer, bekas guru dan aktivis PNI cabang Blora. Karya pertamanya, Kemana, muncul di majalah Pancaraya tahun 1947. Saat itu ia masih tercatat sebagai murid di Taman Siswa. Di tahun yang sama, terbit novelnya, Kranji Bekasi Jatuh dan Sepuluh Kepala Nica.


Pram begitu sering mengalami perampasan hak dan kebebasan. Tercatat pada zaman revolusi kemerdekaan, ia dipenjara oleh Belanda di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), kemudian di jebloskan lagi ke penjara pada zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia dan dibuang ke Pulau Buru oleh penguasa Orde Baru, setelah meletusnya G-30/S. Ia baru menghirup udara bebas pada bulan Desember tahun 1979, meskipun harus kehilangan sebagian pendengarannya karena kepalanya dihantam popor senjata.


Sosok Pram menampakkan karakter yang keras. “Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek”, tuturnya.


Ia tergolong penulis yang serius mempersiapkan diri sebelum berkarya. Ia adalah sosok pendokumentasi data yang baik, dan mampu membungkus data-data yang akurat dengan alur cerita yang memukau dan gaya bahasa yang orisinil. Itulah sebabnya banyak pihak menilai karya-karya memiliki standar mutu literer yang tinggi. Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri telah membuktikannya. Pram menerima Freedom-to-write Award dari PEN American Center (1989), The Fund for free Expression Award (1990), Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award dari Filipina (31 Agustus 1995). Banyak novelnya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Mute’s Soliloquy (Hyperion East, New York). Ini membuktikan supremesi Pram dalam dunia sastra. Hingga kini karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.


Sebagian besar karyanya menyuarakan perlunya memberontak dari tatanan yang tidak adil. Penjajahan dan perampasan hak adalah sesuatu yang harus dilawan. Karena ketidakadilan merupakan produk dari struktur, maka struktur itu juga harus dilawan.


Sepanjang dekade 60-an, perjalanan hidup Pram diwarnai dinamika yang sangat dramatis. Ia terjebak dalam perseteruan antara kubu Lekra (komunis) dan penandatanganan Manifes Kebudayaan. Ia terjepit dalam konflik politik antara kaum komunis, agama, dan angkatan darat. Tak tahu apa-apa soal G 30 S, ia menjadi korban. Rumahnya digerebek, dokumen-dokumen berharga miliknya dihancurkan oleh tentara. Bagi seorang penulis, dokumen-dokumen tersebut ibarat nyawa.


Meski perjalanan hidupnya sebagian begitu getir, Pram tetap konsisten untuk terus menulis. Totalitasnya dalam dunia kepenulisan tetap terjaga. Sayangnya, Pram belum atau tidak akan menyiapkan pengganti yang akan meneruskan jejak langkahnya, “Jadi pengarang itu mengerikan. Anak-anak saya menyimak nasib ayahnya”, katanya. Akibat penyakit radang paru-paru yang diidapnya semakin kronis dan disertai komplikasi dengan penyakit jantung dan diabetes, Pram akhirnya menutup lembaran kisah hidupnya pada hari Minggu tanggal 30 April 2006, jenazahnya di makamkan di pemakaman Umum Karet Bivak Jakarta Pusat. Selamat Jalan Pak Pram.***


(Dari Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar