Rabu, 21 November 2012

Menjaga Budaya menuju Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI 2013 (Medan)


Oleh Rian Harahap, S.Pd


            “Aku akan tetap mencintaimu meskipun aku terperangkap mati dalam kehidupan”, sebut perempuan yang termangu dan dipasung itu. Seketika lampu panggung padam dan seluruh ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan. Begitulah kiranya kalimat akhir dari pertunjukan yang ditaja teater Lakon Kesenian Kampus (LKK) Universitas Negeri Medan dalam Temu Teater Mahasiswa Nasional X, Purwokerto pada 9-15 Juli 2012. Setelah naik panggung pada pertengahan juni lalu mereka dengan yakin berangkat dan menunjukkan karyanya yang diangkat dari hasil observasi kehidupan di Sumatera Utara untuk diapresiasi oleh teater kampus se-Nusantara. Naskah yang berjudul ‘Belenggu’ tersebut mampu menaikkan kembali pamor teater kampus di kota Medan. Masalah pemasungan dan keterbelakangan penanganan sosial di keluarga di pedalaman daerahnya membuat ini perlu diangkat ke permukaan.
              Medan kembali menjadi garang dalam teater kampus nasional. Tak pelak ini adalah hasil dari proses kreatif yang selalu dijaga di komunitas masing-masing. Tak hanya teater LKK saja yang hadir dalam helatan ini. Tentu saja dengan kekuatan dan kekompakan mereka, teater O (USU), Alif (IAIN-SU), SH 82 (FH-UMSU), Post Arca 52’ (ITM) dan Sisi (UMSU) juga membuat mata nasional tak berpaling dari kerasnya logat dan tradisi yang dijaga mereka. Bisa dilihat dari teater O yang selalu dengan satire khas Medan. Meski naskah kali ini tidak ditulis oleh Yulhasni namun tetap saja kritikan-kritikan itu tertata rapi dalam lakon komedi berjudul ‘Tukang Tipu’. Berbeda dengan kedua teater di atas. Dua komunitas terakhir tak mementaskan sebuah pertunjukan drama namun lebih kepada tradisi budaya. Sanggar Hukum 82’ misalnya dengan tegas mengatakan bahwa tari Tor-Tor adalah milik Indonesia (Sumut) dengan sajian serta Gondang Bolon dari teater Sisi. Keberadaan teater kampus Medan mulai ditilik sebagai pencapaian yang lumayan.
              Teater kampus hidup dalam perkembangan yang luar biasa drastis meningkat. Ini terlihat dari zaman tahun 90-an ketika itu masih akrab sekali kita mendengar teater independen yang berkecimpung di Taman Budaya. Terbentuknya teater kampus juga tidak lepas dari andil seniman dan sastrawan taman budaya tersebut meski teater kampus juga lahir dari aksi jalanan di era reformasi yang menuntut sebuah teaterikal. Teaterikal dianggap mampu membius kala itu sebagai sebuah sindiran terhadap pemerintahan hingga akhirnya ada sebuah sikap yang harus dipertahankan dalam teaterikal. Maka banyaklah terbentuk teater kampus sebagai bentuk sebuah wadah seni dan budaya.
               Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis.
                Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.
                 Kehadiran di Purwokerto bukan sekedar mengisi absen dan pengakuan bahwa kota Medan masih memiliki teater kampus. Teater yang berasal dari kampus dan notabenenya menjadi kontrol atas permasalahan sosial yang tak terjamah teater independen. Ada hal yang lebih penting dari itu melihat Sumatera Utara mulai doguncang dengan isu kebudayaan yang dengan sengaja ingin dicaplok oleh negara tetangga. Kajian seni dan budaya inilah yang membuat kedatangan ke Purwokerto ini berbeda. Temu Teater Mahasiswa Nasional (Temu Teman) sudah memasuki periode yang matang. Pertemuan teater kampus di seluruh Indonesia ini menjadi ajang tahunan yang wajib digelar.
                  Hal-hal yang ditawarkan Temu Teman pada saat itu adalah event pertunjukan teater yang mengedepankan apresiasi, dan sharing antara segenap komunitas teater kampus yang menjadi peserta, sehingga ada semacam dialektika intelektual yang terjadi di dalamnya. Mengapa dialektika itu sangat diperlukan, karena banyak perbedaan persepsi ataupun konsep yang ada di tiap-tiap komunitas. Tidak perlu mencapai persamaan dalam hal tersebut tetapi lebih pada bentuk kesepahaman perbedaan yang tentunya akan memberi dampak positif berupa ilmu pengetahuan untuk perkembangan teater kampus di Indonesia, terciptanya transformasi pengetahuan dan informasi antar pulau sehingga perkembangan teater kampus di Indonesia akan bersifat menyeluruh. Tentu ini hal yang sangat diidam-idamkan dalam kesenian di lingkungan mahasiswa.
                Menilik lagi sejarahnya maka Temu Teman telah sampai pada usia yang kesepuluh tahun. Even ini diikrarkan pada 22 April 2002 di Makasar lalu berturut-turut pada tahun berikutnya Universitas Tadulako Palu (2003), Universitas Negeri Gorontalo (2004), Universitas Lambung Mangkurat (2005), Banjarmasin, Universitas Islam Negeri Malang (2006), Universitas Dr Soetomo Surabaya (2007), Bali (2008), Institut Pertanian Bogor(2009), Univesitas Islam Negeri Riau (2010) dan STAIN Purwokerto (2011). Keberadaan inilah yang membuat teater kampus semakin lama harus semakin kritis dalam menyikapi masalah-maslaah yang ada disekitarnya. Teater sebagai ruang publik yang bisa dijadikan pesan agar ada perubahan bagi lingkungan. Bagian dari suara-suara rakyat yang terkungkung dalam kebisuan.
                 Berbagai macam latar belakang hadir dalam setiap Temu Teman dan jumlah hampir seribuan orang. Sehingga akan lebih bermanfaat jika pertemuan ini disikapi dengan pertunjukan yang memaparkan tradisi dan kearifan lokal dari daerah masing-masing meski tidak mengesampingkan masalah-masalah yang lebih urgen. Teater berbicara tentang wirasa, wiraga dan wirama. Ada hal yang sangat substansial dalam proses penggarapan setiap naskah dan dibedah agar sampai kepada penonton. Penyampaian itu bukan hanya sebatas tepuk tangan dan teriakan seusai pementasan, namun pesan itu harus terjaga di benak penonton tersebut dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.
                 Begitulah harapan dari pertunjukan teater yang cerdas, teater kampus. Melihat antusiasme teater kampus tersebut, ada celetukan yang keluar dari teater kampus di Nusantara. Mereka mempunyai opini jika sudah saatnya Medan menaja sebuah perhelatan nasional di kotanya. Namun ide bagus itu harus diurungkan sebab masih banyak pekerjaan rumah teater kampus yang harus dibenahi. Meskipun juga fasilitas gedung pertunjukan juga masih jauh dari syarat kata standar.
                  Pada hakikatnya teater kampus Medan sudah rindu akan sebuah iklim dimana teater kampus bukan untuk ditilik dari segi organisasi yang memang dihuni oleh akademisi. Namun pengorganisasiannya lebih baik berhaluan kepada prinsip kekeluargaan dan bukan untuk dipolitisir. Teater kampus Medan harus lebih banyak membahas dramaturgi meski tak sepenuhnya, menilik manajemen produksi meski tak sesempurna event organizer. Masa depan kebudayaan dan seni Sumatera Utara kini masih ditanggung oleh akademisi-akademisi muda yang masih berkutat dengan buku. Semoga mereka tidak hanya berkutat dengan politisir yang dibuat di ranah kesenian dan budaya.
                  Maka tak pelak pula kedatangan teater kampus kota Medan yang tergabung dalam Komunitas Teater Kampus Medan (KOTAK) yang datang ke Purwokerto pada membawa misi bahwa sudah saatnya Nusantara mengenal Sumatera Utara lebih dekat. Pencalonan tuan rumah pun disepakati menjadi kenyataan untuk tahun depan. Tepatnya kota Medan berhak menjadi tuan rumah Temu Teater Mahasiswa Nusantara XI (2013). Sekitar ribuan aktor, sutradara dan penata pertunjukan akan melihat isi dan mengupas kulit yang biasa ditekan dan dicaplok oleh pengakuan negara lain. Kebudayaan Sumatera Utara bangkitlah, siapkan mata teater kampus. Semoga!

Rian Harahap penulis adalah guru, aktor dan sutradara teater kampus. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU. Tulisannya dimuat di Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Pekanbaru Pos, Analisa, Waspada dan Medan Bisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar